Absurd.
Selasa, 16 Juni 2009
Letter from Hogwarts

"Limabelas."
"Tigapuluh," baru tawaran pertama. Coba lagi, Arya!
"Tujuhbelas?"
"Tigapuluh," masih tidak mau? Teruslah berusaha, teman.
"Errーduapuluh satu?"
"TETAP TIGAPULUH, ANAK MUDA! Tidak ada tawar-menawar!"

Demi Dewa Brahma dan segala ciptaannya.

"Tuan, kau tega sekali! Lampu sebagus ini terlalu mahal untuk harga Tigapuluh Pounds!" sentak bocah laki-laki itu dengan lampu meja bekas berbentuk seperti bunga lonceng tergantung; bisa tergolong mahal jika masuk pasar antik dan harganya bisa ribuan Poundsterling. Lampu tersebut ia acungkan kepada si penjual berwajah khas Amerika bertubuh gempal itu, mencibirnya kemudian, "Masih untung aku mau beli, Tuan. Ayolah, harga pelajar! Kau tidak kasihan denganku? Aku hanya punya Empatpuluh Pounds, Tuan, dan ini uang makan siangku. Ayolaaaah..!" Haha, lihat Arya Singh sekarang; tengah menyembah-nyembah pada penjual itu bahkan sampai berlutut! Dengan wajah memelas, pula. Siapa yang tidak kasihan?

Arya memohon-mohon di tengah Garage Sale, loh.

"SUDAH KUKATAKAN, TIDAK ADA TAWAR-MENAWAR LA--"

"Ini Tigapuluh Poundsterlingmu, Tuan!"

Penjual botak itu (ya, dia botak kinclong!) menoleh ketika ada yang memotong kata-katanya. Hm, seorang gadis setipe dengan Arya; India juga. Wajah mereka memiliki sedikit kemiripan di beberapa sisi, katakan saja si gadis ini adalah versi wanitanya Arya, tapi lebih tua beberapa tahun. Yah, gadis berambut hitam nan panjang (hampir sepantat, weuw!) tersebut memang keluarga Arya. Kakak perempuannya tepatnya; Avani Singh si Kakak Kedua. Gadis itu meletakkan Tigapuluh Pounds ke meja si gempal-tambun seraya memberikan senyuman termanis (setengah memaksa) padanya, "Maafkan adikku, dia memang keras kepala--" ujarnya seraya memaksa adiknya bangkit dari berlutut, menarik tangan kirinya dan memelototinya, "kau ini apa-apaan, Arya?! (berbisik, kemudian mengerling si penjual dengan senyuman) Permisi dulu, Tuan. Lampunya sudah kubayar, bukan? Terima kasih! (buru-buru mengambil lampu dan kabelnya)" lanjutnya kemudian segera berangjak pergi dari sana; meninggalkan si penjual gempal yang terbengong-bengon.

Garage Sale yang diadakan orang Australia ini memang jarang sekali diadakan; dan prinsip Arya adalah tidak melewatkan kesempatan itu. Lampu antik yang ditawarnya mati-matian barusan adalah hadiah yang pas untuk Maatajee¹-nya, beliau ultah esok hari. Kedua kakaknya, Rajesh dan Avani, sudah punya persiapan. Hanya Arya yang belum; curang, kan? Mereka memang tidak ada kompaknya sama sekali kalau sudah soal belanja. Dasar pelit.

"Deedee², tadi itu aku hampir dapat harga diskon, tahu, seandainya saja kau tidak mengganggukuー" cibir Arya dengan muka cemberut, melepas tangannya dari genggaman Avani dan mengikuti kakaknya yang mengenakan kemeja putih sleeveless dengan rok blue-jins cerah sepahanya itu. Arya sendiri hanya pakai kaus biru-donker polos buntung kedodoran plus celana jins gelap panjang (robek di bagian lutut), terlihat belel. Ini masih belum seberapa, lihat saja nanti bagaimana style berpakaiannya Rajesh, Kakak Pertamanya itu; lebih belel dan ngaco.

"Kamu ini," Avani memutar bola matanya, mengerling ke adiknya di belakang seraya terus berjalan. Gadis itu tampak kesulitan dengan Lace Up Shoes-nya yang kebesaran, "aku tahu kamu beli itu lampu untuk Maatajee. Kenapa pelit banget, sih? Boroslah sedikit demi beliau. Pakai bohong segala kalau itu duit makan siangmu; dasar bodoh," ujarnya dengan logat khas Awadhi, berhenti berjalan dan memberikan lampu antik yang tadi dibayar dengan uangnya pada sang adik bungsunya. "Jangan lupa ganti uangku, oke?" senyumnya, kemudian kembali berjalan. Arya hanya mengatupkan bibirnya, tidak berbicara sedikitpun menanggapi Avani. Memangnya kenapa kalau Arya bodoh? Huh, sori, Arya itu pintar! Cek saja nilainya di sekolah, dijamin tidak ada cacatnya sama sekali. Nilainya selalu 100 di setiap ulangan, dan rapotnya tidak kurang dari nilai 10. Soal uang? Huh, siapa yang minta dibayari? Arya kan tidak minta?

"Aku tak bohong, Deedee. Memang benar--" kata-kata Arya terhenti ketika seseorang melewatinya. Wajah yang asing; tak pernah bocah itu lihat berkeliaran di daerah sini. Ya, Childwall Valley, tempat tinggalnya selama ini. Sekarang ia dan kakaknya sudah berada di trotoar, jarak ke Flat kecil mereka tinggal delapan meter lagi. Garage Sale barusan memang tak jauh dari Flat Keluarga Singh. Dan orang berjenggot yang tadi, sepertinya bukan warga sini. Bocah kurus nan jangkung (setidaknya untuk India seusianya) itu berlari kecil menyusul kakaknya, menarik tangan kanan gadis itu sembari berbisik, "Ssst, Deedee, kau kenal orang yang barusan lewat, tidak?"

"Yang mana?" Avani mengangkat alisnya, menatap adiknya bingung. Arya mengedikkan kepalanya ke arah belakang, dan begitu Avani menoleh, tak ada siapapun disana. Ia kembali pada adiknya, mengernyitkan dahi, "None. Hanya perasaanmu saja, ah! Daritadi aku nggak lihat siapapun lewat sini."

"Kau yakin?
" tanya Arya ragu; takut yang dilihatnya barusan itu hantu atau semacamnya. Soalnya pakai jubah hitam di hari panas begini. "Tapi tadi benar ada yang lewat, kok! Tinggi, brewokan, terus pakai jubah warna hitam pekat; rambutnya pirang, dan--"

"Ah, tepat ketika aku baru akan mencari kalian--kemana saja?"


Arya dan Avani dikejutkan oleh kehadiran Abhilasha Singh, ibu mereka, di depan pintu Flat. Wanita setengah baya itu melambaikan tangannya; mengisyaratkan kedua anaknya untuk masuk ke dalam. Sepertinya ada sesuatu yang penting. Arya dan Avani sempat bertukar-pandang sejenak sebelum akhirnya mengikuti sang ibu masuk ke Flat mereka. Tempat tinggal mereka di lantai dua, tepatnya di balik pintu kayu mahoni dengan papan bernomor Enam, tepat di sisi kiri seelah naik tangga. Ketiga anggota Keluarga Singh itu memasuki rumah mereka, dan di dalam sana telah menanti sang kepala keluarga : Mahavir Singh. Pria setengah baya itu duduk di meja makan dengan sebuah amplop terbuka dan surat di tangannya.

"Ini mereka, dear Patee³," senyum Abhilasha pada suaminya, mengajak kedua anaknya untuk duduk. Rajesh tak ada disana karena tengah bekerja. Mahavir berdeham sebentar setelah kedua anaknya itu duduk, lalu menatap si bungsu Arya. Diberikannya surat itu pada Arya dan menunjuk logo yang tertera disana.

"Kau tahu apa ini?" tanya Mahavir yang langsung dijawab dengan gelengan kepala oleh Arya. Bocah itu mengernyitkan dahinya, memperhatikan seksama logo itu kemudian menelusuri tulisan-tulisan Bahasa Inggris yang tertera di bawahnya. Hm, karena lama tinggal sejak ia lahir di Liverpool, United Kingdom, tentu saja Arya bisa Bahasa Inggris; dia kan juga sekolah layaknya anak-anak biasa. Diskriminasi? Tidak ada, tuh. Banyak orang India tinggal disini sejak dulu, dan sudah jadi pemandangan biasa di Inggris. Di Flat ini saja, ada empat keluarga keturunan India.

Bocah laki-laki itu melirik ayahnya; terkejut. Baru saja ia selesai membaca suratnya sampai habis. Arya bingung dengan isi surat itu. Hogwarts? Sihir? Diterima? Arya diterima di Sekolah Sihir Hogwarts? Ia benar-benar tidka mengerti. "Pitajee⁴, ini surat darimana? Siapa yang mengirimnya?" tanyanya keheranan, meletakkan surat itu di atas meja. Mahavir dan istrinya saling bertatapan, sementara Avani izin ke dapur untuk membuat minuman dingin. Auranya sedang tidak enak menurut gadis delapanbelas tahun itu. Mahavir beralih pada putranya lagi, menghela nafas panjang.

"Surat ini datang bersamaan dengan seseorang berjubah hitam, katanya perwakilan--"
"Tunggu, brewokan dan rambutnya pirang?"
"--kau tahu darimana?"
"DENGAR ITU, AVANI?! AKU TIDAK SALAH LIHAT!!
" teriak Arya girang penuh kemenangan pada kakak perempuannya di dapur, kemudian nyengir pada sang ayah, "Tadi saat perjalanan pulang aku melihatnya. Lalu? Lalu?"

"Yah--katanya kau itu punya bakat penyihir. Dan perwakilan itu bilang, akan kembali kemari tanggal duapuluhlima untuk menerima jawaban surat sekaligus menjemputmu untuk berangkat."
"Penyihir? Seperti yang di buku cerita itu?
"Kurang lebih. Ah, entahlah, aku dan Amma⁵-mumasih sulit untuk percaya. Mungkin hanya kelakar atau kerjaan orang iseng saja, lebih baik tak usah digubris. Ini pasti ulah iseng Rajesh--"

"Enak saja, aku nggak pernah punya rencana iseng seperti itu!
"

Rajesh tiba-tiba muncul diantara mereka, membantah Mahavir bahwa dialah yang membuat surat itu dan mendatangkan si pirang-brewok berjubah. Pria muda di usia keduapuluh tiganya itu melepas kemejanya dan mengikatnya di pinggang, menampakkan dalaman kaus oblong penuh keringat yang tengah dipakainya. Pekerjaannya sebagai supir taksi ternyata hari ini selesai lebih awal. Dipakainya handuk kecil yang terkalung di lehernya untuk mengelap keringat, kemudian menarik bangku dan duduk di meja makan bergabung dengan Arya serta kedua orangtuanya. Mahavir menatap putra sulungnya curiga, "Kau yakin, Rajesh?"

"Kau ingin aku bersumpah atas nama Dewa Wisnu, Pitajee?
" tantang Rajesh, yang langsung dipukul kasar bahunya oleh sang ibu. "ADUH! Maatajee apa-apaan, sih?!" protesnya, mengaduh kesakitan seraya mengelus-elus pundaknya. Abhilasha memelototi putranya galak, "Jangan bawa-bawa Dewa dalam sumpahmu, Rajesh! Kau tahu Maatajee tidak suka itu!"

"Kurasa Bhaiya⁶-ku ini tidak bohong, Pitajee,
" ujar Arya tiba-tiba. Bocah itu menatap lama surat yang ada di hadapannya, berbicara namun tidak menatap ketiga orang dewasa di dekatnya, "Kalau ia berani bawa-bawa Dewa Wisnu, berarti ia jujur."

"Tuh, kan!"
"Diam kau, Rajesh,"
bisik ibunya.

"Jangan terlalu curiga dulu, Pitajee, mungkin saja Arya benar ada bakat sebagai penyihir?" ujar Avani yang datang membawa lima gelas limun dingin di atas nampan, menaruhnya satu-satu ke atas meja makan. Abhilasha menanggapi putrinya, "Tapi Avani, menyerahkan Arya pada orang asing terlalu riskan, Amma dan Abba⁷-mu ini tentu saja khawatir," ucapnya cemas. Namun Arya malah tertawa kecil mendengarnya. Memangnya ada yang lucu?

"Ya ampun, kalian ini! Kan aku yang sekolah, malah kalian yang ribut. Bagaimana, sih?" tawanya, kemudian tersenyum lebar, "Tunggu saja sampai tanggal duapuluhlima, Pitajee. Aku yakin si jubah hitam akan datang lagi," senyumnya riang dan mengangkat surat yang diterimanya tinggi-tinggi. Bocah itu memejamkan matanya, mulutnya bergerak-gerak memaparkan kata demi kata yang dibacanya dari surat tersebut; lancar dan tak ada satupun kesalahan. Arya sedang menunjukkan kebolehannya lagi, rupanya.

"Lihat, kan? Ia mulai lagi dengan sihir kecilnya itu! Sekarang aku yakin dia penyihir," dengus Rajesh kesal, sedikit iri dengan kemampuan ingatan Fotografis adiknya. Arya selalu dapat prestasi bagus secara teori di sekolah karena itu, makanya bocah itu sering dijauhi teman-temannya. Dianggap sombong. Tapi Arya tetap ceria, mau marah ya percuma, karena Arya memang tidak bisa menghilangkan bakat alaminya itu.

"Kalau begitu, lebih baik kau bersiap, Nak. Si jubah hitam akan membawamu ke London saat itu," senyum Mahavir pasrah bangkit dari kursinya, sementara Rajesh dan Avani saling bertatapan dengan mulut menganga. Terkejut setengah mati dengan apa yang ayah mereka katakan.

"LONDON?!!"

"KALIAN NORAK!" teriak Arya, menyuruh kedua kakaknya diam ketika selesai memaparkan suratnya. Sekarang ia tersenyum-senyum sendiri, pikirannya kini melayang ke Perpustakaan Memori di kepalanya, menguak lembaran-lembaran yang ia ingat mengenai London. Satu-persatu, rak-per rak, buku-perbuku.

Hmm, London...



Keterangan :

Label: , , ,



links
credits
Designer: mira muhayat

Photobucket